Pages

Tuesday, June 9, 2009

Imigrasi dan Kedaulatan Negara


Berbicara Keimigrasian dari aspek pertahanan dan keamanan menurut saya tidak dapat dilepaskan dari masalah kedaulatan wilayah. Kedaulatan wilayah nasional berarti berbicara mengenai kemampuan negara dalam menjalankan yurisdiksi atau kewenangannya atas orang, benda, dan tindakan-tindakan yang dilakukan di dalam wilayahnya. Pada umumnya keberadaan secara fisik seseorang atau statu benda dalam wilayah suatu negara akan menimbulkan yurisdiksi negara atas orang atau negara tersebut.

Namun demikian, ada pembatasan bagi negara dalam menjalankan yurisdiksi di wilayahnya jika dikaitkan dengan: (1) Imunitas atau kekebalan yang diberikan kepada negara asing,diplomat asing,kapal berbendera asing,atau lembaga internacional termasuk bendanya; (2) Tenggang waktu keberadaan, ketika orang atau benda tersebut telah berada di luar wilayah negara maka berakhir pula yurisdiksi negara atas orang atau benda tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yurisdiksi itu bersifat sementara (transient jurisdiction) .

Untuk melindungi kepentingan suatu negara dari yurisdiksi yang bersifat sementara itu, fungsi keimigrasian secara universal berada pada posisi terdepan dan terakhir dalam menyeleksi setiap orang yang keluar-masuk melintasi wilayah suatu negara. Penyelenggaran fungsí suatu keimigrasian pada hakikatnya dimulai ketika seseorang melintasi batas wilayah Indonesia yang terbentang sepanjang 6 Lintang Utara-11 Lintang Selatan, 95 Bujur Timur-14 Bujur Timar dan pengawasan atas keberadaan dan kegiatan orang asing dalam wilayah Indonesia.

Karekteristik wilayah Indonesia yang terdiri dari wilayah daratan, lautan, dan udara dapat berbatasan dengan wilayah negara lain/daerah tidak bertuan/laut lepas (high seas). Yang dimaksud dengan daratan wilayah Indonesia ádalah bekas wilayah Hindia Belanda yang terdiri dari sekitar 17.600 pulau. Dari keseluruhan pulau-pulau tersebut hanya pulau Kalimantan,Pulau Timor,dan Pulau Irian yang memiliki perbatasan darat negara-negara lain (Malaysia,Timor Leste,dan Papua Nugini). Pada hakikatnya disepanjang garis perbatasan tersebut keimigrasian (dalam pengertian fungís) secara administratif mulai mengatur,mengawasi,mengendalikan lalu-lintas keluar-masuk setiap orang yang melintasi batas wilayah Indonesia.

Yang dimaksud wilayah udara Indonesia adalah ruang udara yang berada di atas wilayah dan perairan teritorial Indonesia. Prinsip usque ad coluem menyatakan kedaulatan negara atas ruang udara di atasnya ádalah tidak terbatas. Prinsip ini diakomodasikan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 tentang Pengaturan Navigasi Udara, yang mengakui bahwa setiap negara mempunyai “kedaulatan lengkap dan eksklusif” atas ruang udara yang berada di atas wilayahnya dan perairan teritorialnya. Pada perkembangannya kemudian muncul pertanyaan sampai batas ketinggian berapa kedaulatan wilayah suatu negara ada pada ruang udara yang berada di atasnya. Karena perkembangan tehnologi ruang angkasa, dapat diluncurkan benda langit (satelit) yang mengorbit melintasi wilayah suatu negara.

Walaupun Belum ada konsensus mengenai batas ketinggian, Namun pada prinsipnya negara-negara mengakui adanya kedaulatan negara pada ruang udara yang berada di atasnya sekitar 110 kilometer dari permukaan laut dan batas ketinggian ini merupakan batas terendah di mana satelit buatan dapat mengorbit. Diluar batas ketinggian itu maka ruang tempat benda-benda langit (satelit)tersebut tunduk pada hukum internacional dan dapat dimanfaatkan oleh setiap negara atas dasar prinsip kesamaan. Dalam konteks ini, keimigrasian dalam pengertian fungsí pada hakikatnya secara administratif mulai mengatur, mengawasi, mengendalikan lalu-lintas keluar-masuk setiap orang yang melintasi batas udara wilayah Indonesia. Namun secara institusi, keimigrasian bersifat statis berada pada pelabuhan-pelabuhan udara yang ditetapkan sebagai tempat pemeriksaan imigrasi (TPI).

Yang dimaksud wilayah laut Indonesia semula selebar 3 mil laut ke arah lautan lepas diukur dari pantai waktu surut sesuai dengan ketentuan dalam Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939 (Stbd 1939/442).
Pada perkembangannya kemudian, wilayah laut Indonesia diperluas berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 4 Prp Tahun 1960, dalam Pasal 1 menetapkan bahwa perairan Indonesia terdiri dari: (1) Laut Indonesia yaitu lajur laut yang terbentuk dari suatu garis yang menghubungkan titik-titik terluar yang diukur 12 mil laut dari pantai pulau-pulau terluar waktu surut; (2) Perairan Pedalaman yaitu semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis yang terbentuk. Berdasarkan persetujuan ratifikasi 3 (tiga) Konvensi Hukum Laut Internacional, dikeluarkan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1973 tentang Landas kontinen Indonesia, yang juga turut menimbulkan yurisdiksi negara atas orang atau benda yang berada di atas landas kontinen Indonesia.

Landas kontinen ádalah dasar laut atau tanah di luar perairan Indonesia (lihat definisi perairan Indonesia di atas) di mana masih mungkin dieksploitasi dan dieksplorasi sampai kedalaman 200 meter. Dengan pemahaman ini maka keimigrasian dalam pengertian fungís, pada hakikatnya dimungkinkan pelaksanaannya sampai pada orang-orang yang berada di titik terluar di atas landas kontinen.
Berbicara tentang wilayah Indonesia termasuk perluasan teritorial sebagaimana pembahasan di atas, didasari pemikiran bahwa Indonesia ádalah suatu negara yang memiliki karakteristik yang unik yaitu sebagai negara kepulauan (archipelago state) yang dahulunya merupakan satu kesatuan pulau yang menjadi gugusan pulau-pulau. Pemikiran ini diwujudkan dalam “Deklarasi Juanda” dan dikenal sebagai konsepsi Wawasan Nusantara.

Mengacu pada konsepsi Wawasan Nusantara yang antara lain menyatakan bahwa batas teritorial negara Indonesia merupakan satu kesatuan geografis baik itu berupa daratan, lautan, dan udara. Berdasarkan batas-batas teritorial negara Republik Indonesia yang diakui secara internacional maka timbal yurisdiksi hukum Indonesia atas setiap orang, benda, dan perbuatan yang berada dan terjadi dibawah dan di atas wilayah Indonesia. Operasionalisasi konsep Wawasan Nusantara dikaitkan dengan batas-batas teritorial ini sesuai dengan prinsip umum hukum internacional yang dikemukakan oleh Lord Macmillan yang menyatakan:

“Adalah statu ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, sepeti semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap orang,benda,dan perbuatan dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbal di dalam perbuatan batas-batas teritorial ini.”

Demikian pula dari sudut pandang keimigrasian bahwa dalam lingkup batas-batas teritorial, keimigrasian berfungsi untuk meminimalisasikan dampak negatif dan mendorong dampak positif dari yurisdiksi sementara (transient jurisdiction) yang timbal akibat keberadaan orang asing yang bersifat sementara itu selama berada dalam wilayah Indonesia. Peran keimigrasian seketika muncul saat orang asing melintasi batas wilayah Indonesia. Oleh karena itu fungsi keimigrasian dapat berada di darat,laut,dan udara wilayah Indonesia. Ada tempat-tempat tertentu yang ditetapkan sebagai pintu masuk atau keluar (entry point/border crossing).

Pada tempat-tempat itu dilakukan clearance yang secara universal dilaksanakan oleh Immigration (imigrasi) juga disertai fungsi-fungsi lainnya seperti Custom (Bea dan Cukai) dan Quarrantine (karantina), yang bekerja secara bersama-sama dalam suatu perlintasan. Imigrasi untuk clearance perlintasan manusia, Bea Cukai untuk clearance perlintasan kesehatan manusia,hewan,dan tumbuhan. Fungsi-fungsi ini secara internasional dikenal sebagai CIQ (Custom, Imigration, Quarrantine) dan merupakan fungsi-fungsi pokok di wilayah lintas batas territorial. Di samping juga melihat adanya fungís kepolisian dan militer yang keadaan normal bekerja sebagai fungsi supporting system. Kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban, sedangkan militer fungsi pertahanan. Contoh dalam pemeriksaan kapal yang berlabuh pada perairan pedalaman Indonesia sebelum menaikkan dan menurunkan orang atau barang harus terlebih dulu menaikkan bendera “N” yang berarti mempersilahkan petugas imigrasi mengadakan clearance. Tanpa clearance dari imigrasi, maka setiap orang yang Turun dari kapal dianggap secara tidak sah memasuki wilayah Indonesia dan atas tindakan itu diancam pidana.

Apabila clearance telah selesai selanjutnya diikuti clearance oleh Custom dan Quarrantine. Dalam pandangan teknis imigratoir, immigration clearance diartikan sebagai penyelesaian pendaratan pada saat perlintasan di entry point (dengan pengertian pendaratan masuk atau pendaratan keluar).

Ada suatu pandangan yang salah yang beranggapan bahwa fungsi keimigrasian hanya dilakukan di pelabuhan udara atau pelabuhan laut saja. Hal ini disebabkan kita terbiasa melihat petugas imigrasi hanya bertugas pada kedua tempat itu saja. Pengertian batas teritorial negara dari sudut pandang keimigrasian, secara geografis dapat dibagi dalam pengertian:

Batas garis wilayah teritorial “luar”, yaitu batas teritorial negara yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan merupakan batas-batas garis wilayah negara Indonesia yang telah ditetapkan dan diakui secara internasional sebagai batas teritorial “luar” berdasarkan: (1) UU No.4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia; (2) UU No.7/1973 tentang Landas Kontinen; (3) UU RI No.6 thn.1973 tanggal 8 Desember 1973 tentang batas antara Indonesia dengan Papua New Guniea; (4) Keppres No.89 thn.1969 tanggal 5 November 1969 tentang Batas antara Indonesia dengan Malaysia. Dalam ruang lingkup ini fungsi keimigrasian pada dasarnya mempunyai tugas untuk mengamati,mengatur,dan menjaga seluruh pelintasan manusia baik masuk maupun keluar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Contoh pelintasan perbatasan darat di Entikong,Kalimantan Barat atau perlintasan laut di Kepulauan Natuna-Riau, secara fisik kedua tempat tersebut berada pada garis batas teritorial negara.
Batas garis wilayah teritorial “dalam”, yang dimaksud di sini adalah batas-batas yang terdapat di dalam area pelabuhan laut atau udara internasional yang memisahkan wilayah internasional dengan wilayah nasional. Contoh: Pada pelabuhan udara internasional seperti Bandara Sukarno Hatta-Jakarta atau Bandara Juanda-Surabaya,atau pelabuhan Tanjung Priok-Jakarta terdapat batas yang secara fisik berbentuk sebuah garis kuning (a yellow line) atau dikenal sebagai immigration line yang terdapat di depan arrival atau departure immigration counter. Di belakang garis kuning itu sampai pada pintu pesawat dapat diartikan sebagai wilayah internasional (international area atau sterile area) dan dalam pesawat/kapal laut berlaku hukum negara di mana pesawat itu terdaftar.

Dalam perspektif keimigrasian setiap orang dianggap telah melewati garis wilayah perbatasan teritorial ketika telah melewati pemeriksaan keimigrasian untuk memproses pendaratan bagi setiap pelintasan baik masuk maupun keluar. Pelabuhan udara atau laut secara fisik kedua titik tersebut berada di dalam garis wilayah batas teritorial suatu negara dan merupakan bagian dari wilayah darat atau wilayah perairan pedalaman yang sepenuhnya bagian dari yurisdiksi negara. Namun berdasarkan konvensi internasional disepakati bahwa di dalam suatu pelabuhan udara atau laut internasional terdapat wilayah internasional yang berfungsi sebagai sterile area, hanya orang yang telah melewati immigration clearance yang dapat masuk atau keluar melintasi garis kuning (immigration line).

Oleh karena jumlah petugas imigrasi serta sarana dan prasarana yang terbatas menyebabkan fungsi keimigrasian lebih banyak dilakukan pada tugas pendaratan di garis wilayah teritorial “dalam” dan fungsi keimigrasian terlihat kurang berada pada batas teritorial “luar”. Berbeda dengan INS-USA dan DIAC-Australia yang diperlengkapi dana, sumber daya manusia,dan perlengkapan yang canggih dan memadai menyebabkan fungsi keimigrasian dilaksanakan sampai pada titik terluar pada batas teritorial “luar” negaranya masing-masing dengan maksud melakukan deteksi dini sekaligus meminimalisasikan setiap ATHG yang muncul akibat pelanggaran garis wilayah teritorialnya.

Pelaksanaan pengaturan dan penyelenggaraan pertahanan dan keamanan memerlukan kerjasama yang sinergis dari semua komponen bangsa. Peristiwa pengeboman Sari Club dan Paddy Club di Bali dan Hotel J.W. Marriot di Jakarta bukan hanya mengancam aktivitas di sektor kepariwisataan Bali, tetapi juga tidak mustahil bahwa hal itu mengakibatkan kelesuan sektor pariwisata didaerah lain. Pariwisata bukan saja penting dari sisi penerimaan devisa, tetapi juga teramat penting bagi kehidupan banyak orang dan tenaga yang bekerja disektor ini, seperti angkutan, biro perjalanan, restoran, tempat hiburan,toko suvenir,usaha wisata olahraga, bahkan petani penghasil makanan yang dikonsumsi wisatawan. Demikian pula upaya peningkatan ekonomi melalui promosi investasi tidak akan berguna apabila pemerintah tidak mampu menjamin keamanan bagi para investor. Ketidakamanan akan mengancam posisi Indonesia sebagai lokasi investasi potensial dan dapat mengancam posisi Indonesia sebagai lokasi investasi potensial dan dapat menyebabkan pamor Cina, Vietnam, serta negara-negara lainnya sebagai pilihan bagi lokasi investasi.

Dalam konteks tulisan ini, kondisi dinamis terus-menerus diupayakan oleh pemerintah sebagai upaya preventif dalam mengeliminasikan ATHG terhadap keamanan nasional adalah dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor V Tahun 2002 yang ditujukan kepada semua instansi yang terkait dengan sistem informasi keamanan, yaitu BAIS TNI, Intelijen Kejaksaan, Intelijen POLRI, Imigrasi, dan lain-lain, ditetapkan berada di bawah koordinasi Badan Intelijen Negara (BIN) . Hal ini menunjukkan bahwa negara melihat imigrasi sebagai institusi yang mempunyai peran dalam menghadapi terorisme internasional serta sebagai institusi terdepan dalam hal pengawasan orang asing di Indonesia. Dengan demikian terlihat bahwa institusi imigrasi memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam upaya menjaga keamanan nasional dari dampak negatif adanya mobilitas orang yang semakin meningkat.

No comments:

Post a Comment